Selasa, 05 Juli 2011

Masihkah Menunda Pernikahan?

Jika kita perhatikan kondisi pergaulan pemuda dan pemudi hari ini, sebagian besar banyak yang memutuskan untuk menunda pernikahan mereka dengan berbagai alasan. Terutama bagi laki laki, banyak yang menunggu  kehidupannya mapan dulu baru merencanakan pernikahan karena merasa jika menikah terlalu dini khawatir tak mampu memberikan kehidupan yang baik pada keluarganya kelak. Biasanya rencana mereka adalah selesaikan kuliah dulu, kemudian cari kerja dan berkarier di perusahaan kira kira 3-5 tahun, kemudian pelan-pelan mengumpulkan biaya untuk modal nikah dan berumah tangga. Sehingga sebagian besar menikah diatas usia 25 tahun, bahkan ada yang sampai diatas usia 30 tahun baru mulai merencanakan pernikahan. Dan pemahaman seperti ini sudah umum dimasyarakat kita.
“Wahai generasi muda! Bila diantaramu sudah mampu menikah hendaklah ia nikah, karena mata akan lebih terjaga, kemaluan akan lebih terpelihara.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud).
Kata “mampu” pada hadits di atas bukanlah berarti harus mapan. Penekanan kata mampu pada hadits tersebut adalah kesiapan dengan penuh tanggung jawab untuk memikul beban berumah tangga, siap secara konsisten berikhtiar dalam memenuhi kewajiban dalam mensejahterakan keluarga. Tidak ada keharusan harus memiliki penghasilan tetap, menduduki posisi yang bagus di perusahaan, bergaji besar, punya rumah, kendaraan dan seterusnya.
Jika kita mau jujur, persepsi yang terpatri dalam benak sebagian pemuda kita hari ini adalah ukuran ukuran duniawi, yang akhirnya menyulitkan langkah mereka sendiri menuju indahnya pernikahan, sehingga tidak jarang mereka tanpa sadar telah membiarkan mata, telinga dan kemaluan mereka tidak terpelihara.
Lebih menyedihkan lagi, persepsi ini juga masih menjadi sistem dalam pemikiran sebagian dari para pemuda yang notabene saat ini telah bertekat menginfakkan harta dan jiwanya di jalan dakwah. Alasan apalagi kah kiranya yang membuat saudara saudara lelakiku sehingga masih menunda pernikahan? Sementara jumlah akhwat yang semakin cemas dengan usia mereka terus semakin panjang deretannya.
Di daerah saya tinggal saat ini (Bali) misalnya, sampai ada muslimah yang meminta kepada seorang Ustadzah agar dinikahkan dengan siapa saja, jika tidak dengan lelaki tertarbiyah (terbina), duda atau dijadikan istri kedua pun bersedia asal lelaki itu adalah lelaki yang sholih. Hal ini terjadi karena usia terus bertambah, mereka para muslimah itu  sudah berpenghasilan, namun tak kunjung datang juga lelaki yang sholih yang meminangny. Para muslimah itu membutuhkan imam, pendamping hidup mereka, mereka pun ingin seperti wanita sholihah lain yang bisa menyempurnakan setengah agamanya dengan menikah.
Sepertinya pemuda-pemuda kita ini perlu diingatkan lagi tentang bahaya keragu-raguan, was-was, dan kroni-kroninya. Itu semua adalah bentuk dari tipu daya syaitan. Sebagai seorang pemuda yang telah mentarbiyah dirinya, mestinya lebih siap dalam meng-upgrade kualitas hidupnya. Setelah bertahun-tahun di tarbiyah (dibina,dididik dan dilatih) dalam rangka memperbaiki diri menjadi pribadi berkarakter islami, melalui proses islahul fardhi, bukankah semestinya segera melanjutkan ke tahapan dakwah berikutnya dengan membina keluarga muslim. Jika tahapan demi tahapan ini terus ditunda, berati kita juga terus menunda terwujudnya cita cita kita membangun peradaban islami.
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mengkayakan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur (24) : 32).
Tepiskan semua keraguan yang menggangu dari urusan duniawi, karena firman Allah diatas telah dengan tegas memberikan jaminan pada mereka yang dengan ikhlas menikah.
Hendaknya janganlah ukuran kekayaan dunia pula yang menjadi barometer kita. Banyak kita temui di lapangan setelah awalnya berniat mengumpulkan harta yang cukup dulu baru menikah, akhirnya terlalu asyik bekerja malah lupa mencari calon istri sehingga membuat diri semakin terjerumus ke lembah dosa. Mereka lebih suka melakukan onani untuk memuaskan syahwatnya dari pada menikah. Kembali lagi alasan belum sanggup menikah meskipun sudah memiliki pekerjaan tetap namun masih saja belum merasa mandiri.
Kasus ini pernah saya tangan sendiri, seseorang yang akhirnya tertekan dan stress akibat pikiran kotor selalu mengganggu aktivitasnya. Kebiasaan melakukan onani dan menyaksikan tayangan porno telah menjadi sesuatu yang sulit ia tinggalkan.  Sering setelah ia melakukan perbuatannya ia menyesal, dan bertaubat berjanji untuk tidak mengulanginya kembali. Namun tidak lama setiap kali godaan datang, diapun melakukannya kembali. Sampai satu hari seseorang itu mendapatkan informasi keberadaan klinik yang saya kelola, dan ia meminta agar dibantu untuk mengeluarkannya dari kebiasaan yang terus membuat dirinya berputar-putar dalam lingkaran perbudakan syahwat.
Solusinya apa? Ya menikah.
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. “ (Qs. Ar. Ruum (30) : 21).
Efek negatif menunda pernikahan akan merusak mental. Namun, tidak jarang para pemuda dan pemudi  yang menunda pernikahan mereka, akibatnya di kemudian hari setelah semua dijalani dan akhirnya merasa sudah terlambat dan mulai  menyimpulkan bahwa jodoh mereka jauh. Padahal Allah berulang kali telah menunjukkan kesempatan dan peluang dihadapan mereka, namun sering diabaikan. Akhirnya tidak sedikit diantara mereka yang frustasi , depresi dan kehilangan percaya diri.
Dialah yang menciptakan kalian dari satu orang, kemudian darinya Dia menciptakan istrinya, agar menjadi cocok dan tenteram kepadanya” (Al-A’raf 189)
Maka sebenarnya kebahagiaan, ketenteraman dan kualitas hidup kita salah satunya adalah dengan hidup bersama dalam ikatan suami istri. Bukanlah harta itu yang menentramkan tapi pasangan kita lah yang menenteramkan. Karena dengan dengan menikah seorang lelaki akan terbuka luas peluangnya untuk berbuat lebih banyak lagi kebaikan. Lebih banyak sedekah, dan lebih cepat melaju menuju kedewasaan hidup yang sesungguhnya dengan senantiasa melatih diri menjadi pemimpi yang baik dalam menegakkan kebenaran dan mejauhkan keluarganya dari kemungkaran.
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi pelindung (penolong) bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah ; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Qs. At Taubah (9) : 71).
Jika memang menunggu mapan. Kapan kira kira kita bisa memastikan harus menikah? Bukankah kata mapan itu sendiri adalah hal yang tidak jelas ukurannya? Sebagai contoh, ada seorang pemuda yang dipaksa menikah oleh calon istrinya, dan ia menolak dengan alasan belum mapan. Namun si calon istri tetap bersikukuh dan mengancam jika tidak menikah maka lebih baik hubungan mereka di akhiri karena dirinya akan menikah dengan lelaki lain. Kemudian singkat cerita mereka pun menikah dalam keadaan yang belum mapan. Setelah pernikahan mereka berusia lima tahun, ternyata keadaan ekonomi mereka juga belum bisa dikatakan mapan, masih biasa-biasa saja. Yang perlu kita renungkan kalau saja mereka tidak menikah lima tahun yang lalu, bisa jadi sampai hari ini mereka belum juga menikah, karena ekonomi belum juga mapan.
Sedangkan contoh-contoh lain juga tidak kalah banyaknya, sahabat sahabat saya yang memutuskan menikah dibawah usia 25 tahun. Dan sampai hari ini rumah tangga harmonis, semua berjalan dengan lancar, bisa mendidik dan menyekolahkan anak, meski belum mapan secara materi. Menikah berarti mendapat anugerah berupa perhiasan dunia terindah dari Allah yaitu seorang wanita yang sholehah.
Dari Amr Ibnu As, Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya ialah wanita shalihat.(HR. Muslim, Ibnu Majah dan An Nasai).
Dan dalam riwayat yang lain :
Dunia ini dijadikan Allah penuh perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan hidup adalah istri yang sholihah” (HR. Muslim)
Tantangan bagi para pemuda, segeralah menikah. Jika Anda belum memiliki pekerjaan, maka bekerjalah dan tetaplah bekerja tanpa harus memiliki pekerjaan tetap. Karena dengan menikah keberkahan dari Allah akan terus belimpah, begitu pula dalam meraih pahala dalam beramal, karena sesungguhnya amal seseorang yang sudah menikah sangat berbeda dimata Allah dengan amalannya seorang bujangan.
Sabda Rasulullah SAW :
Shalat 2 rakaat yang diamalkan orang yang sudah berkeluarga lebih baik, daripada 70 rakaat yang diamalkan oleh jejaka (atau perawan) (HR. Ibnu Adiy dalam kitab Al Kamil dari Abu Hurairah).
Jika setelah menikah yang perlu Anda lakukan adalah terus meng-upgrade kemampuan Anda untuk terus meningkatkan kualitas kehidupan rumahtangga Anda, dan menambah penghasilan Anda. Rejeki Allah yang menjamin.
Rasulullah SAW bersabda: “Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku !” (HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.)
Kalau kata seorang kawan : “jika masih muda belum menikah dan malas puasa, lalu siapa nabinya tuh?“
Rasulullah SAW. bersabda : “Seburuk-buruk kalian, adalah yang tidak menikah, dan sehina-hina mayat kalian, adalah yang tidak menikah” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain :
Diantara kamu semua yang paling buruk adalah yang hidup membujang, dan kematian kamu semua yang paling hina adalah kematian orang yang memilih hidup membujang “ (HR. Abu Ya’la dan Thabrani).
Semoga Allah senantiasa menjaga hati kita untuk senantiasa berada di jalan keridhoan-Nya. Memilih sesuatu hanya karena Dia, siap menanggung sesuatu yang telah digariskan-Nya. Mari senantiasa kita pujia kebesaran Allah dengan indahnya cara yang Allah berikan untuk menenteramkan hidup kita, dan semoga kita tidak termasuk orang orang yang dikelabui oleh tipu daya dunia.

Wallahu’alam.

http://www.fimadani.com/masihkah-menunda-pernikahan/

Minggu, 03 Juli 2011

Kenali 5 Fase Pernikahan dan Tantangannya

Ada yang bilang, pernikahan itu manis di awal, kemudian seiring dengan waktu akan menjadi semakin hambar.
Sementara penasihat dan terapis untuk masalah rumah tangga dan keluarga, Rita DeMaria, PhD, penulis buku The 7 Stages of Marriages, mengatakan bahwa sebenarnya perkawinan ini terbagi menjadi beberapa fase penting. Dan, pada setiap fase itu Anda dan pasangan akan menghadapi berbagai tantangan yang akan menentukan masa depan rumah tangga Anda berdua.
"Dengan memahami seperti apa fase-fase itu, Anda akan dapat senantiasa melalui tahun demi tahun dengan ikatan cinta dankomitmen yang semakin kuat," kata DeMaria.
Inilah lima fase penting perkawinan dan apa saja yang perlu Anda ketahui:

Fase 1: Bulan madu
Tahun-tahun pertama hingga sebelum kedatangan anak-anak adalah masa penuh gairah dan cinta. Semua selalu tentang Anda berdua. Berlibur berduaan ke tempat terpencil, bercinta di waktu-waktu tak terduga, semuanya membuat hubungan terasa begitu romantis bak di film-film.
Namun, sebaiknya Anda juga perlu berusaha membangun fondasi rumah tangga dari hal-hal yang berada di luar urusan kamar tidur. Ini saatnya bicara, apa yang akan Anda berdua rencanakan untuk masa depan keluarga. Kapan akan punya anak, lalu bagaimana karier Anda dan suami. Siapa yang akan mengasuh anak nanti, dan apa harapan suami untuk anak-anak dan juga Anda. Bicarakan ini, maka selanjutnya Anda tidak perlu menghabiskan waktu untuk perdebatan yang tidak perlu.

Fase 2: Memantapkan fondasi

Anak-anak mungkin belum lahir, tapi Anda mulai mengetahui kekurangan, kelebihan, serta kebiasaan buruk pasangan--begitu pula dengan dirinya terhadap Anda. Di tahap ini, Anda perlu belajar pentingnya kerjasama tim di dalam keluarga. Samakan kembali visi dan misi ke depan dan jalin kedekatan dengan orang-orang yang berpengaruh terhadap Anda berdua, seperti keluarga besar misalnya.
"Salah satu penyebab pasangan suami-istri mengalami perceraian pada fase ini adalah karena mereka tidak berusaha untuk mempertemukan dua pikiran, dan malah menghindari perbedaan pendapat," kata Beverly Hyman, PhD, salah satu penulis buku How to Know If It's Time to Go: A 10-Step Reality Test for Your Marriage.

Fase 3: Keluarga adalah segalanya

Ini adalah fase terpenting dari kehidupan berkeluarga. Pada saat ini, Anda sudah membangun keluarga utuh dengan beberapa orang anak, membeli mobil dan rumah, dan mulai mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan masa depan. Hidup jadi semakin sibuk, dan menurut Dr Hyman, inilah saat yang rawan. Sebab, Anda jadi kurang memiliki waktu untuk berpikir tentang pasangan, bagaimana caranya agar bisa punya banyak waktu berdua, dan bagaimana menikmati keintiman dengan pasangan. Yang lebih banyak Anda pikirkan adalah anak-anak, pekerjaan, dan utang-utang yang harus dibayar.
"Sempatkan untuk berbicara dari hati ke hati dengan pasangan. Atur rencana untuk bisa berduaan saja. Tidak perlu sampai meninggalkan anak, tapi mungkin dengan menunggu mereka tidur di malam hari, lalu Anda bisa nonton berduaan dengan pasangan dan bercakap-cakap. Lebih baik lagi, bila setelahnya 'percakapan' ini berlanjut di atas ranjang," saran Dr Hyman.

Fase 4: Kembali berdua

Ketika anak-anak sudah besar, menuntut ilmu atau bekerja di kota lain dan lebih sibuk dengan urusan pribadinya, Anda akan mendapati bahwa inilah saat ketika Anda kembali berduaan dengan pasangan. Berbeda dengan dulu pada waktu baru menikah, Anda mungkin bisa dibilang tidak punya banyak beban. Segala yang bersifat material sudah tercapai dan secara emosional Anda dan pasangan juga sudah jauh lebih matang.
Dr Hyman menyarankan Anda berdua untuk memanfaatkan fase ini dengan mencoba berbagai pengalaman baru. Seperti menekuni olahraga, berkebun, atau memelihara binatang. Anda bisa melakukannya bersama pasangan atau sendiri-sendiri.

Fase 5: Lengkaplah sudah!

Anak-anak sudah menikah dan membina rumah tangganya sendiri. Anda juga sudah pensiun dari pekerjaan dan punya banyak waktu bersama pasangan. Pada fase ini, Anda perlu menikmati segala yang telah Anda dapat selama perjalanan waktu. Tidak banyak yang perlu Anda hadapi lagi di fase ini, selain menyongsong hari tua bersama pasangan, sambil selalu menjalin kedekatan dengan anak dan cucu.

sumber :http://id.berita.yahoo.com/kenali-5-fase-pernikahan-dan-tantangannya-071028645.html