Sabtu, 01 Oktober 2011

Anak Lanang yang Tak Mau Pulang

Anda pernah mendengar lagu tradisional Jawa berjudul Caping Gunung ? Ah, pasti banyak sekali yang tidak mengenal lagu itu. Sebagian karena “anti lagu” sehingga tidak tahu lagu apapun, sebagian lagi karena tidak mengenal budaya daerah, sehingga hanya mengenal lagu yang nge-pop saja.
Sebagai anak desa, jaman saya masih kecil dulu sangat sering mendengar lagu Caping Gunung dinyanyikan warga desa. Bapak dan ibu saya juga menyanyi lagu ini untuk “rengeng-rengeng” saat di rumah atau di sawah. Kini, setelah menjadi tua, sayapun tinggal di kampung. Lahir di kampung, sekarang tinggal menetap di kampung. Saya tetap menjadi orang kampung dan menikmati kehidupan kampung.

Suatu ketika saya berjalan di tengah kampung, terdengar lagu Caping Gunung dari radio di rumah seorang warga. Ingatan saya kembali ke masa-masa kecil saya bersama orang tua di kampung yang jauh dari keramaian kota. Konon, lagu ini dicipta oleh Gesang.
Lagu ini memiliki makna sangat mendalam bagi saya. Sebagai anak kampung yang terlahir di kaki gunung Lawu, saya merasakan pesan yang sangat kuat dari lagu ini. Jangan pernah melupakan kampung halaman. Jangan pernah melupakan orang-orang kampung yang ikut berjasa menghantarkan keberhasilan kita. Setelah sukses dan tinggal di kota, jangan menjadi orang yang lupa diri, tidak mengingat lagi masyarakat yang sangat berharap peran anak-anak kampung yang telah sukses bekerja di kota. Ayolah membangun desa, jangan lupa tengok desa asalmu. Bangun kemakmuran warga, bangun kesejahteraan mereka.

Episode Pertama. Bayangkan, ada seorang ibu tua tinggal di sebuah desa tertinggal, yang lebih dekat ke gunung. Saya memiliki ikatan emosi yang sangat kuat dengan kalimat “gunung” ini, karena saat kecil sering bermain di kaki gunung Lawu, daerah Tawangmangu, Kalisoro, Sekipan, Gondosuli dan sekitarnya. Saya sering menyaksikan budhe saya yang orang gunung, bekerja di ladang di lereng gunung Lawu. Menanam sayuran, memanen dan menjual ke pasar Tawangmangu.
Kembali ke cerita ibu tua. Dia punya anak lelaki yang sejak kecil diasuh dengan sepenuh kasih sayang. Dia relakan bekerja membanting tulang untuk bisa bertahan hidup, menyekolahkan anak lelakinya dari SD hingga SMA. Tak sedikit pengorbanan orang tua untuk sekolah anaknya, dengan harapan kelak akan bisa membahagiakan orang tua dan masyarakatnya.

Setelah lulus SMA, si anak pamit ke kota untuk mencari kerja. Tak ada saudara, tak ada teman, tak ada kerabat di kota, si ibu hanya melepas anak dengan doa semoga anaknya berhasil mendapatkan kerja. Saat berangkat, si anak berjanji akan kembali setelah berhasil mendapatkan kerja yang mapan.
Sebagai anak kampung, ia terbiasa hidup penuh kesulitan sehingga membentuk watak dan jiwa yang ulet. Akhirnya ia berhasil mendapat pekerjaan. Sambil bekerja, ia pun meneruskan kuliah sampai selesai. Prestasi kerja yang bagus membuatnya cepat meningkat karir. Jadilah ia seorang profesional muda yang sukses.

Namun si anak dengan kesibukan dan gaya hidup kota, tak sempat lagi memperhatikan kampung halamannya. Ia terlalu asyik dengan dunia kerja dan profesi yang ditekuni. Memang, sesekali ia menengok ibu tua di kampung gunung, namun bukan itu yang diharapkan si ibu. Ia berharap si anak memiliki perhatian untuk memajukan desanya agar semakin maju dan berkembang. Tidak menjadi desa yang tertinggal. Tapi si anak terlalu sibuk dengan urusannya.

Si ibu tetap merana di desa, masyarakat tetap miskin, gunung tetap terpinggirkan dan jauh dari kesejahteraan. Sesekali waktu si ibu merenung, menatap ke masa lalu saat sulitnya mendidik anak lelaki. Lalu dengan tubuh lemahnya ia memasak nasi jagung untuk si anak lanang, berharap ia akan datang dan menyantap nasi jagung masakannya. Ia pun siapkan caping gunung untuk dipakaikan kepada anaknya, agar si anak lanang berjalan-jalan melihat kondisi  kampung.
Tapi si anak lanang tidak pernah datang…..

Episode Kedua. Bayangkan ada anak kampung yang maju menjadi Calon Anggota Legislatif. Melalui sebuah parpol ia maju menjadi caleg tingkat pusat, berharap akan bisa membangun kampungnya lebih baik jika ada anggota legislatif dari kampung tersebut. Masyarakat bergerak semua mensukseskan si anak, dengan semangat penuh agar si anak bisa dihantarkan ke kursi dewan. Harapan telah tertanam, kelak kalau ada anggota legislatif, kampung gunung ini bisa maju dan terbuka. Masyarakat bisa sejahtera.

Dengan jerih payah seluruh masyarakat, akhirnya si anak kampung berhasil menjadi anggota DPR RI. Berbahagialah semua orang kampung, berharap akan segera terjadi keajaiban dan perubahan keadaan menjadi lebih baik.
Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu. Si anak kampung yang kini anggota dewan pusat tak pernah muncul, tak kunjung datang. Janji tinggal janji, kampanye yang bertaburan janji sudah terlupakan. Ia menikmati gaya hidup baru sebagai seorang pejabat, tidak lagi mengenal rakyat yang bersusah payah memenangkannya.
Masyarakat gunung merenung. Meratapi kondisi yang tetap sulit. Dulu miskin, setelah ada anggota DPR dari kampungnya pun tetap miskin. Dulu hidup sulit, setelah berhasil mengusung seorang warga menjadi anggota DPR hidup tetap sulit. Jangankan memakmurkan gunung, datang berkunjung saja tak dilakukan. Kemana saja perginya si anak lanang ?

Suatu saat orang-orang gunung berkumpul, memasak nasi jagung berharap si anak lanang datang. Mereka akan bercerita, berkeluh kesah, tentang kehidupan dan kampung mereka. Si anak lanang telah disiapkan caping gunung untuk diajak berkeliling melihat kondisi kampungnya. Tapi si anak tidak datang pernah datang…..
Nasi jagung sampai dingin, caping gunung disimpan kembali….
Kasihan orang-orang gunung…… Mereka tetap miskin dan tidak sejahtera…..

Ini lirik lagu Caping Gunung :

Dhek jaman berjuang
njur kelingan anak lanang
mbiyen tak openi
ning saiki ana ngendi
Jarene wis menang
keturutan sing digadhang
mbiyen ninggal janji
ning saiki apa lali
Reff:
Neng gunung tak cadhongi sega jagung
yen mendhung tak silihi caping gunung
sokur bisa nyawang
gunung desa dadi reja
dene ora ilang
nggone padha lara lapa
Artinya:
Ketika masa berjuang
jadi teringat anak lelakiku
Dulu aku yang mengasuh
Namun sekarang entah di mana
Katanya sudah sukses
Terpenuhi apa yang diinginkan
Dulu dia berjanji
Namun sekarang apakah sudah lupa
Reff:
Di gunung aku sediakan nasi jagung
Kalau mendung aku pinjami caping gunung
Syukurlah jika sempat menyaksikan
gunung desa makin ramai
Hingga takkan hilang
perjuangan bersama dengan susah payah

Dalam sekali pesannya. Wahai anak-anak kampung dimanapun sekarang engkau berada, jangan lupakan warga masyarakatmu. Jangan lupakan kampung halamanmu. Jangan lupakan sejarah asalmu. Jangan durhaka kepada kampung tempat kelahiran dan tempat dibesarkanmu.
Banyak orang yang ikut berjasa menghantarkan keberhasilanmu. Banyak orang yang menantikan peranmu. Masyarakat desa perlu diberdayakan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Jangan ada warga desamu kelaparan tak bisa makan, jangan ada warga desamu yang bodoh tak berpendidikan, jangan ada warga desamu yang sakit dan tak bisa melakukan pengobatan. Jangan ada warga desamu tak memiliki pekerjaan, jangan ada petani desamu kesulitan bibit untuk ditanam dan kesulitan pupuk untuk menyuburkan tanaman.

Anak-anak kampung dimanapun kini engkau berada, ayolah tengok kembali kampung halamanmu. Tengok simbah-simbah tua, tengok kakek nenek yang setia, tengok petani yang merana, tengok warga desa yang berharap sejahtera….. Jangan pernah kau lupakan jasa mereka, jangan sia-siakan harapan mereka, jangan ingkari kesetiaan mereka, jangan abaikan keinginan mereka…..
Ayo tengok mereka, berbuatlah sesuatu untuk mereka, dengarkan keluh kesah mereka, temani kesulitan mereka….
Nangis bener saya, sambil merinding, mengingat lagu Caping Gunung…….